Kalimantan Selatan
— Provinsi —
|
|
Slogan:
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
(Bahasa Banjar: Tetap bersemangat
dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir)
|
|
Peta
lokasi Kalimantan Selatan
|
|
Hari
jadi
|
|
Ibu
kota
|
|
5º 20' - 1º 10' LS
114º 0' - 117º 40' BT
|
|
Pemerintahan
|
|
• Gubernur
|
|
Luas
|
|
• Total
|
37.530.52 km2
(14,490.61 mil²)
|
Populasi (2010)
|
|
• Total
|
3.626.616
|
• Kepadatan
|
97/km2 (250/sq mi)
|
Demografi
|
|
Banjar
(76,34%)
Jawa
(13,14%)
Bugis
(2,45%)
Madura
(1,22%)
Bukit
(1,20%)
Lain-lain (5,65%)
|
|
• Agama
|
Islam (96,67%)
Kristen (1,32%)
Katolik (0,44%)
Hindu (0,44%)
Buddha (0,32%)
Lain-lain (0,80%)
|
• Bahasa
|
Bahasa
Banjar (bjn), Bahasa Indonesia (id), Bahasa
Bakumpai (bkr), Bahasa Bukit (bvu), Bahasa Dusun Deyah (dun), Bahasa
Maanyan (mhy)
|
11
|
|
2
|
|
138
|
|
1.958
|
|
Ampar-ampar Pisang
|
|
-kalimantan selatan Kalimantan
Selatan terkenal dengan seribu sungainyam.
-Di Kal-Sel terdapat 2
sungai besar dan terkenal yaitu, Sungai Barito dan Sungai Martapura. Mengapa
saya katakan terkenal ? Karena di 2 sungai tersebut terdapat pasar yang
sangat unik dan langka yaitu, Pasar Terapung Muara Kuin dan Pasar Terapung Lok
Baintan. Pasar terapung juga menjadi ciri khas dari Kalimantan Selatan.
|
Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia
yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Banjarmasin.
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km dan berpenduduk ± hampir
mencapai 3,7 juta jiwa.
Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan
2 kota. DPRD
Kalimantan Selatan dengan surat keputusan No. 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989
menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan.
Tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950,
merupakan tanggal dibentuknya provinsi Kalimantan, setelah
pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan gubernur Dokter Moerjani.
Penduduk Kalimantan Selatan berjumlah 3.626.616 jiwa (2010).
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Kalimantan Selatan
Perangko Republik Indonesia (2010).
Kawasan Kalimantan Selatan pada masa
lalu merupakan bagian dari 3 kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah di
daerah ini, yakni Kerajaan Negara Daha, Negara Dipa,
dan Kesultanan Banjar. Setelah Indonesia merdeka,
Kalimantan dijadikan provinsi tersendiri dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad
Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimantan Selatan juga diwarnai dengan
terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di
Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan
yang berada di Jawa. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati
menyebabkan Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini
pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian
wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur
ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat
Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur
tentara ALRI yang melingkupi seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu
dinyatakan sebagai bagian dari wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17
agustus 1945. Upaya yang dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas
dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke
bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah juga mengalamai
penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa pemecahan daerah
Kalimantan menjadi 3 provinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan
yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956. Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957,
sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah Kalimantan Selatan
dijadikan Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan
bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam
kekuasaan Provinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Provinsi Kalimantan Selatan
tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun UU
No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan
kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.
Kondisi
dan sumber daya alam
Geografi
Secara geografis, Kalimantan Selatan
berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki kawasan dataran rendah di
bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh
Pegunungan Meratus di tengah.
Keanekaragaman
hayati
Kalimantan Selatan terdiri atas dua
ciri geografi utama, yakni dataran rendah dan dataran tinggi. Kawasan dataran
rendah kebanyakan berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sehingga kaya akan
sumber keanekaragaman hayati satwa air tawar. Kawasan dataran tinggi sebagian
masih merupakan hutan tropis alami dan dilindungi oleh pemerintah.
Sumber
Daya Alam
Kehutanan: Hutan Tetap (139.315 ha),
Hutan Produksi (1.325.024 ha), Hutan Lindung (139.315 ha), Hutan Konvensi
(348.919 ha) Perkebunan: Perkebunan Negara (229.541 ha) Bahan Galian: batu
bara, minyak, pasir kwarsa, biji besi, dll
Suku Banjar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Suku Banjar
Urang Banjar اورڠ بنجر
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Jumlah populasi
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Kurang lebih 5,5 juta
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Kawasan dengan populasi yang
signifikan
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Kelompok etnik terdekat
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Sketsa seorang pembesar Kerajaan
Banjar sekitar tahun 1850 (koleksi Museum Lambung Mangkurat).
Suku bangsa Banjar(bahasa Banjar: Urang
Banjar / اورڠ بنجر atau bahasa Dayak Ngaju: Oloh Masih)adalah suku bangsa
atau etnoreligius Muslim
yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai
menempati sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan
Timur terutama kawasan dataran rendah dan bagian hilir dari Daerah Aliran
Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Perkampungan Banjar juga dapat ditemukan di
Kalimantan Barat misalnya di kelurahan Banjar Serasan dan di
pedalaman Sabah misalnya Kampung Banjar di Keningau. Suku
Banjar terkadang juga disebut Melayu Banjar, tetapi penamaan tersebut jarang
digunakan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah
Banjar yang merupakan pembauran masyarakat DAS Bahau (koreksi: DAS
Bahan/DAS Negara), Das Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Sungai Barito
bagian hilir merupakan pusatnya suku Banjar. Kemunculan suku Banjar bukan hanya
sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Secara
liguistik, bahasa yang digunakan suku Banjar merupakan perpaduan rumpun bahasa Melayik dan Barito Raya.
Sejak abad ke-19, suku Banjar mulai
bermigrasi ke banyak tempat di Kepulauan
Melayu dan mendirikan kantong-kantong pemukiman di sana.
Daftar
isi
- 1 Etimologis
- 2 Sejarah
- 3 Suku Banjar Perantauan
- 4 Sistem kekerabatan
- 6 Bahasa
- 7 Kebudayaan
- 7.1 Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut
- 7.2 Rumah Banjar
- 7.3 Tradisi lisan
- 7.4 Teater
- 7.5 Musik
- 7.6 Tarian
- 7.7 Kuliner
- 7.8 Senjata Tradisional
- 8 Populasi
- 9 Tokoh-tokoh Banjar
- 10 Lihat pula
- 11 Literatur
- 12 Referensi
- 13 Pranala luar
Etimologis
Nama Banjar, menurut Hikayat
Banjar pada mulanya berasal dari nama Kampung Banjar yang terletak di muara
Sungai Kuin. Kampung ini dipimpin oleh seorang Patih (kepala Kampung) yang
bernama Patih Masih. Suku Dayak menyebut penduduk kampung ini dengan sebutan
Oloh Masih artinya orang-orang Patih Masih. Gabungan nama kampung Banjar dan
nama Patihnya tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal sebagai Banjar Masih.
Kelak kampung ini berkembang menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja pertama
Sultan Suriansyah, yang merupakan keponakan dari raja Kerajaan Negara Daha yang
terletak di pedalaman. Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan baru yang
muncul untuk memisahkan diri dari Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih dengan
rakyatnya yang dikenal sebagai orang Banjar Masih, merupakan entitas politik yang
dibenturkan dengan orang Negara Daha yang merupakan warga negara Kerajaan
Negara Daha yang menjadi rivalnya. Kerajaan Negara Daha (atau daerah Hulu Sungai)
akhirnya berhasil ditaklukan dan wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan Banjar
Masih. Kekuatan Kerajaan Banjar Masih didukung penuh oleh Kesultanan Demak yang
memberi persyaratan bahwa raja dan rakyat Banjar Masih harus menerima agama
baru yaitu agama Islam, yang kini menjadi identitas orang Banjar sebagai
etnoreligius/kultur grup Muslim. Rakyat negara Kesultanan Banjar inilah yang
menyebut dirinya orang Banjar dan bertutur dalam salah satu bahasa Melayu Lokal
yaitu bahasa Banjar. Bahasa Banjar sebagai lingua franca tidak hanya dituturkan
oleh suku Banjar, tetapi juga oleh kelompok etnik lainnya yang beragama non
Muslim yang datang ke dalam wilayah adat Banjar seperti beberapa sub-suku Dayak
dan Tionghoa yang sudah beberapa generasi tinggal di perkampungan orang Banjar,
namun kelompok-kelompok etnik tersebut tidak termasuk ke dalam kategori suku
Banjar, walaupun mereka menggunakan budaya dan bahasa Banjar dalam kebaktian/misa di gerejanya.
Sejarah
Secara liguistik suku Banjar
serumpun dengan Dayak Kendayan (logat Dayak: Kanayatn), Dayak Iban,
dan rumpun Melayu Lokal (Dayak Bukit/Meratus, Kedayan-Brunei,
Berau, Kutai Kota Bangun, Kutai Tenggarong) yaitu rumpun bahasa Melayik. Mitologi suku Dayak Meratus (Dayak Bukit) menyatakan
bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan
dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit
dan Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa
rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau
bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis)
antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa rakyat
berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang
bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang
bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik
lemah tapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang
berfisik kuat dan jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang
atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di
kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya
diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya
adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari
Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu
kontak fisik yang sangat menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan
rumpun-rumpun Dayak yang telah memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa,
Melayu, Bugis dan Cina.
Menurut Denys Lombard, pada jaman
kuna sebagian besar penduduk Kalimantan Selatan (terutama daerah Batang Banyu)
merupakan keturunan pendatang dari Jawa. Pendapat lain menyatakan, suku Banjar
jejak akarnya dari Sumatera lebih dari 1500 tahun yang lampau.Djoko Pramono
menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut
yang menetap di Kalimantan Selatan.
Suku bangsa
Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya, yang membangun tanah air
baru di kawasan Tanah Banjar (sekarang wilayah provinsi Kalimantan
Selatan) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang
lama sekali akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang
biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan
belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar)
Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya
adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang
berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu mendiami
lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami
sekitar Banjarmasin
dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan
dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera
atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata
asal Dayak dan Jawa.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar
dihapuskan pada tahun 1860)
adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar,
sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan
ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak
berubah lagi.
Sejak abad ke-19, suku Banjar
migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan
ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar.
Di Singapura,
suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu.
Kesultanan Banjar sebelumnya
meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat
menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran
Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah
timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran
Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan,
Koensan,
Poelau
Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan,
Sampanahan,
Manoenggoel,
dan Tjingal.
Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer,
selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar
pulau misalnya ke Kepulauan
Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang pembentuk Bangsa Suluk
atau Tausug (yakni percampuran orang Buranun, orang Tagimaha, orang
Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar).[rujukan?] Hubungan antara
Banjar dengan Kepulauan Sulu atau Banjar Kulan terjalin ketika
para pedagang Banjar mengantar seorang Puteri dari Raja Banjar untuk menikah
dengan penguasa suku Buranun (suku tertua di Kepulauan Sulu). Salah satu rombongan
bangsa Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan
Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Banjar
Pahuluan
Orang Pahuluan
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada
sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin,
tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera
yang kemudian dilantik menjadi Sultan
Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan
raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu
menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku
Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang
sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah
satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau
sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat
Melayu ini memang hidup bertetangga, tetapi setidak-tidaknya pada masa
permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok Suku Banjar (Pahuluan)
membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya
dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang
berdiri sendiri.
Untuk kepentingan keamanan, atau
karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek
pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang
pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang
pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan
warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga
lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat
pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada
asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman
pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak
sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang
dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan,
yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.
Banjar
Batang Banyu
Perkampungan orang Batang Banyu
Masyarakat
(Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan
terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang
barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai
Negara atau cabangnya yaitu sungai
Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu
merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang
terpisah. Daerah
tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut
serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan
yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan
umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang
Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan
pengrajin.
Sosio-historis
Secara sosio-historis masyarakat
Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai
sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama,
sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok
sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya
alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup
kompleks.
Islam telah menjadi
ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi
identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di
sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan
kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan
masyarakat Dayak
dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi
orang Banjar.
Masyarakat Banjar bukanlah suatu
yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial
suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari
komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk
pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang
dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan
titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak
sebagai syarat berdirinya Kesultanan
Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah
bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih
tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang
menjadi tempat tinggal.
Suku Banjar yang semula terbentuk
sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar) berdasarkan
teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan
genetis yang menggambarkan percampuran penduduk pendatang dengan penduduk asli Dayak:
- Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang berbahasa Melayik (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok)
- Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
- Grup Banjar Kuala adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku
Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya
(Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan
Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah
utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku
Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti
Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan
Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai
kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan
yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar
di Kalimantan Selatan terdapat di Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling
Banjarmasin tidak termasuk Kota Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai
(93,75%), kota Kotabaru (69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru
(48,96%), seluruh Tanah Bumbu (56,74%).
Suku
Banjar Perantauan
Peta penyebaran suku bangsa Banjar
di berbagai daerah.
Kalimantan
Timur
Suku Banjar di Kalimantan
Timur, merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat
seluruh kabupaten
dan kota di Kaltim.
Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai,
maupun suku Dayak.
Beberapa kecamatan
yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan dan Jempang, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan,
Tarakan dan di
muara sungai Kelay, Berau.
Suku Banjar merupakan 4,5% dari populasi Kabupaten Kutai Barat. Menurut sensus 1930,
suku Banjar terdapat di Kota Balikpapan (31,56%), Kota Samarinda (54,93%),
wilayah Kutai bagian Timur tidak termasuk Kota Samarinda (33,09%), Kota Tanjung
Selor (35,70%).
Menurut data statistik Kalimantan
Timur 2002, Suku Banjar terdapat di Kota Samarinda (140.761 jiwa), Kota
Balikpapan (63.010 jiwa), Kutai Kartanegara (57.506 jiwa), Paser (32.323 jiwa),
Kutai Timur (11.380 jiwa), Berau (9.659 jiwa), Tarakan (8.766 jiwa), Kutai
Barat (6.658 jiwa), Bontang (5.328 jiwa), Bulungan (3.315 jiwa), Nunukan (1.124
jiwa) dan Malinau (490 jiwa).
Migrasi suku
Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang
Amuntai yang
dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan
Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua,
Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya
suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan
Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan
Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
Kalimantan
Tengah
Menurut sensus tahun 2000, Suku
Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak
di Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di
Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%),
Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng
berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa
(18,06%), Ngaju
(18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai
(7,51%), Madura
(3,46%), Katingan (3,34%) dan Maanyan
(2,80%). Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai)
mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo (Kalteng dan
sebagian Kalbar) berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku Melayu
(26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya
suku lainnya yang tidak disebutkan.
Besarnya proporsi Suku Banjar dan
Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar asal Kalimantan
Selatan dan transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan Tengah. Orang
Banjar secara langsung memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang masih terbuka
luas di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan orang Jawa yang pindah ke Kalimantan
Tengah karena program transmigrasi, orang Banjar pindah atas kemauan sendiri.
Daerah pedalaman Kalimantan Selatan (daerah kabupaten Hulu Sungai) adalah
daerah padat penduduk dan sejak lama merupakan sumber migrasi keluar orang
Banjar tidak hanya ke berbagai tempat di Pulau Kalimantan, tetapi juga ke
Sumatera dan Jawa.
Perkampungan suku Banjar Kalteng
terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai
Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku
Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan
Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah
mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang
pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai
Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang
datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama
mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang
kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan
orang Hulu
Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara.
Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan
campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah
tersebut.
Sedangkan migrasi suku
Banjar ke wilayah Barito,
Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran
Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku
Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran
Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu
(Murung
Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang
bergelar Sultan Muhammad Seman.
Sistem
kekerabatan
Waring
|
↑
|
Sanggah
|
↑
|
Datu
|
↑
|
Kai
(kakek) + Nini (nenek)
|
↑
|
Abah
(ayah) + Uma (ibu)
|
↑
|
Kakak
< ULUN > Ading
|
↓
|
Anak
|
↓
|
Cucu
|
↓
|
Buyut
|
↓
|
Intah/Muning
|
Seperti sistem kekerabatan umumnya,
masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam
keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.
Bagi ULUN juga terdapat panggilan
untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara
kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara
tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil
(paman muda/kecil) dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda
disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini
sama saja, begitu pula untuk saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada
pula sebutan lainnya, yaitu:
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari
ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur
boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk
diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua
digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.